Senin, 11 Juni 2012

Metode Gravity ?


Perkembangan di bidang eksplorasi gravitasi telah signifikan dari Galileo ke adaptasi terbaru dari sistem navigasi inersia. kesemimbangan torsi ke gravitimeter adalah salah satu saat yang paling menarik dalam eksplorasi geofisika,. Gravity meter telah dibuat untuk beroperasi jauh di bawah air, di permukaan laut, di udara, dan di lubang bor. keakuratan akhir umumnya dibatasi oleh kesalahan dalam data posisi bukan presisi instrumen gravitasi. Pencapaian presisi microgal (beberapa bagian per miliar) merupakan salah satu perkembangan teknik paling luar biasa. Interpretasi hampir terus kecepatan dengan pengembangan instrumen, namun laporan pada metode dan keberhasilan serius ( setidaknya 10 tahun) dalam literatur. Masalah ambiguitas berkaitan dengan distribusi massa telah jelas dilaporkan, bagaimanapun, adalah tidak cukup diperlakukan untuk pemisahan anomali. Meskipun demikian, banyak makalah  berhubungan dengan resolusi anomali yang tersebar di seluruh literatur, dari operator cincin untuk transformasi Fourier cepat. Banyak diskusi juga ada di depan dan perhitungan invers, tetapi sedikit perhatian telah diberikan dalam literatur untuk interpretasi praktis, terutama dalam integrasi gravitasi dengan data geofisika seismik, magnetik, dan bor.
Metode Gravitasi di definisikan sebagai pengukuran medan gravitasi di serangkaian lokasi yang berbeda atas suatu daerah tertentu. Tujuan dari metode eksplorasi ini adalah untuk mengetahui distribusi kepadatan dan jenis batuan.
Dalam metode gravitasi, dikenal juga metode sinyal analitik. Metode sinyal analitik, yang dikenal juga sebagai metode gradien total, sebagaimana didefinisikan di sini menghasilkan jenis tertentu gravitasi dihitung atau perangkat tambahan peta anomali magnetik digunakan untuk menentukan dalam arti peta tepi (batas) geologi densitas anomali atau distribusi magnetisasi. Di bidang eksplorasi aplikasi potensial, sinyal analitik istilah longgar mengacu pada modulus dihitung dari gravitasi atau medan magnet anomali tiga ruang yang saling ortogonal (x, y, z) istilah derivatif. Dipetakan maxima (pegunungan dan puncak) pada sinyal analitik dihitung dari peta anomali gravitasi atau magnetik menemukan sumber anomali tepi tubuh dan sudut (misalnya, batas kesalahan basement blok, kontak litologi basement, sesar / geser zona, beku dan diapirs garam, dll .). maxima sinyal analitis memiliki sifat yang berguna yang mereka terjadi secara langsung di atas kesalahan dan kontak, tanpa kemiringan struktural yang dapat hadir, dan independen dari arah induksi dan / atau badan magnetizations remanen. ekstensi Berbagai metode sinyal analitik (sebagaimana didefinisikan di sini) ada. Sebagai contoh, beberapa ekstensi untuk metode ini termasuk sebagai parameter tambahan dipecahkan tubuh kedalaman sumber anomali (s). kepadatan mulai dari 2,6 g/cm3 hingga 3,0 g/cm3. basement kepadatan tinggi mungkin atau mungkin tidak setara dengan kristal dan / atau ruang bawah tanah magnetik.
Perhitungan ketelitian estimasi rapat massa Bouguer akan dikembangkan berdasarkan metode estimasi rapat massa cara Nettleton, yaitu dengan meminimumkan korelasi antara anomali Bouguer dan tofografi. Metode lain, yaitu metode Parasnis, berprinsip pada peminimuman korelasi antara anomali Bouguer dan koreksi Bouguer. Perhitungan ketelitian rapat massa didasarkan pada hasil perhitungan efek gravitasi kasus model sintetik sederhana dua dimensi. Perhitungan ketelitian rapat massa didasarkan juga pada asumsi jika free-air anomaly disebabkan oleh gabungan efek topografi, ketidakhomogenan kerak bumi, dan isostasi.
Cara perhitungan koreksi topografi dapat dilakukan dengan menggunakan Hammer Chart yang dikembangkan oleh Sigmud Hammer. Caranya adalah dengan membagi – bagi daerah penelitian menjadi bagian – bagian yang dibatasi oleh lengkungan (kompartmen) yang diberi nama kompartemen A,B,C,D dan seterusnya.

Minggu, 10 Juni 2012

Dream Earth: Geologi Regional Lokal Daerah Yogyakarta

Dream Earth: Geologi Regional Lokal Daerah Yogyakarta:   II.1 Geologi Regional Daerah Yogyakarta II.1.1 Fisiografi Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan ...

Geologi Regional Lokal Daerah Yogyakarta


 II.1 Geologi Regional Daerah Yogyakarta
II.1.1 Fisiografi


Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air permukaan  di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah. Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu, namun data umur K/Ar lava andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990) menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu. Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan, barat daya, barat dan utara Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki gunung api yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan Pegunungan Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan Yogyakarta.
 Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api (Gunung) Merapi. Didasarkan pada data umur penarikhan 14C pada endapan sinder yang tersingkap di Cepogo,aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak ±42.000 tahun yang lalu; sedangkan data penarikhan K/Ar pada lava di Gunung Bibi, aktivitas gunung api tersebut telah berlangsung sejak 0,67 jtl. Tinggian di sebelah selatan dan kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah utara, telah membentuk sebuah lembah datar. Bagian selatan lembah tersebut berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan bagian baratnya berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi yang diduga pernah terbentuk lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung hitam. Lempung hitam tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan endapan gunung api Gunung Merapi. Didasarkan atas data penarikhan 14C pada endapan lempung hitam di Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah ±16.590 hingga 470 tahun, dan di Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung hitam di Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi. Jadi data tersebut dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo (Kalibayem) tersingkap juga endapan lempung hitam yang berselingan dengan lahar berumur 310 tahun. Jadi, aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi daerah ini pada ±6210 hingga ±310 tl.
1.    Fisiografi Pulau Jawa
            Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan (Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 2.1). Zona Solo merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari P. Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K. Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
            Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng. Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk, 1992).
        Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
            Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
            Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.
            Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
            Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
II.2 Geologi Lokal Daerah Yogyakarta
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001).
Subzona Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak. Sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
Selain itu terdapat kawasan ekosistem gumuk pasir yang terletak di Daerah  Parangtritis, sekitar 28 kilometer dari kraton Yogyakarta ke arah selatan. Secara admistratif masuk wilayah Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Kali Opak. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Donotirto Kecamatan Pundong, sedang sebelah timur Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Di desa itu terdapat sekitar 190 buah gumuk pasir yang terdiri dari jenis barchan, longitudinal, parabolik dan sisir. Masing-masing jenis gumuk pasir tersebut mempunyai cara pembentukan yang berbeda, dan dikontrol oleh faktor-faktor yang berbeda-beda pula.
Gumuk pasir merupakan akumulasi pasir lepas berupa gundukan teratur hasil kerja dan pengaruh komponen-komponen : (1) jumlah pasir yang diendapkan teratur ke laut, (2) ombak yang memindahkan pasir dari laut ke darat, (3) intensitas sinar matahari yang mengeringkan pasir di pantai, (4) intensitas dan kemenerusan angin yang memindahkan pasir, (5) tebing penghambat gerak angin dan sebaran pasir, (6) vegetasi, dan (7) dinamika budaya masyarakat.
Di Parangtritis terdapat sekitar 190 bentukan gumuk pasir, yang terdiri dari jenis-jenis barchan 70 buah, longitudinal 80 buah, parabolik 30 buah dan sisir 10 buah. Masing-masing bentuk tersebut mempunyai cara dan faktor pengontrol pembentukan yang berbeda. Bentuk parabolik dan sisir dipengaruhi oleh vegetasi yang memotong arah angin sehingga kecepatan angin di belakang vegetasi kurang. Bentuk barchan dan longitudinal dipengaruhi oleh aktivitas angin yang bertiup kuat. Barchan mempunyai proses pembentukan menarik. Mulanya terbentuk gumukpasir longitudinal yang mempunyai sumbu panjang sejajar dengan arah angin. Berikutnya tubuh gumuk pasir semakin tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya perputara air di belakang gumuk, yang menyebabkan terjadinya penggerusan di belakang gumuk. Penggerusan yang semakin kuat menjadikan penggerusan semakin intensif sehingga dimensi lebar seimbang dengan dimensi panjang.
Gumuk pasir Parangtritis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar : pasif dan aktif. Gumuk pasir aktif menempati sisi timur pada luasan sekitar 70 hektar. Di sini proses-proses pembentukan gumuk pasir longitudinal dan barchan oleh aktivitas angin yang bertiup kuat dapat diamati dan dipelajari dengan baik, misalnya struktur pengendapan permukaan riple mark. Gumuk pasir pasif menempati sisi barat dan selatan sampai muara Kali Opak pada luasan sekitar 175 hektar. Di sini berkembang gumuk pasir parabolik dan sisir. Vegetasi yang memotong arah angin tenggara-barat laut menyebabkan berkurangnya kecepatan angin di belakang vegetasi sehingga terjadi sedimentasi.

Sabtu, 09 Juni 2012

Ground Penetrating Radar


Ground Penetrating Radar (GPR) merupakan metode geofisika yang menggunakan pulsa radar untuk gambar bawah permukaan. Metode tak rusak menggunakan radiasi elektromagnetik dalam microwave band (UHF / VHF frekuensi) dari spektrum radio, dan mendeteksi sinyal tercermin dari struktur bawah permukaan. GPR dapat digunakan dalam berbagai media, termasuk batu, tanah, es, air bersih, trotoar dan struktur. Hal ini dapat mendeteksi objek, perubahan materi, dan void dan retak. 
GPR menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi (biasanya terpolarisasi) dan mengirimkan ke dalam tanah. Ketika gelombang menyentuh benda dikuburkan atau batas dengan konstanta dielektrik yang berbeda, antena catatan variasi dalam sinyal kembali tercermin penerima. 
Prinsip-prinsip yang terlibat mirip dengan seismologi refleksi, kecuali bahwa energi elektromagnetik digunakan sebagai pengganti energi akustik, dan refleksi muncul pada batas dengan konstanta dielektrik yang berbeda daripada impedansi akustik.Kisaran kedalaman GPR dibatasi oleh konduktivitas listrik air tanah, frekuensi pusat ditransmisikan dan daya radiasi. Seiring dengan peningkatan konduktivitas, kedalaman penetrasi menurun. Hal ini karena energi elektromagnetik lebih cepat hilang menjadi panas, menyebabkan kerugian pada kekuatan sinyal di kedalaman. Frekuensi yang lebih tinggi tidak menembus sejauh frekuensi yang lebih rendah, tetapi memberikan resolusi yang lebih baik. Penetrasi kedalaman optimal dicapai dalam es di mana kedalaman penetrasi dapat mencapai beberapa ratus meter. Penetrasi yang baik juga dicapai dalam tanah berpasir kering atau bahan kering masif seperti granit, batu kapur, dan beton di mana kedalaman penetrasi bisa sampai 15 m. Pada tanah lembab dan / atau tanah liat yang bermuatan dan tanah dengan konduktivitas listrik yang tinggi, penetrasi kadang-kadang hanya beberapa sentimeter.Penembus tanah antena radar umumnya dalam kontak dengan tanah untuk kekuatan sinyal terkuat, namun GPR udara diluncurkan antena dapat digunakan di atas tanah.Borehole GPR Cross telah dikembangkan dalam bidang hydrogeophysics menjadi sarana berharga menilai keberadaan dan jumlah air tanah.
GPR memiliki banyak aplikasi dalam sejumlah bidang. Dalam ilmu bumi itu digunakan untuk mempelajari batuan dasar, tanah, air tanah, dan es. Termasuk aplikasi teknik uji tak rusak (NDT) struktur dan trotoar, menemukan struktur dikuburkan dan baris utilitas, dan mempelajari tanah dan batuan dasar. Dalam rehabilitasi lingkungan, GPR digunakan untuk menentukan tempat pembuangan sampah, bulu kontaminan, dan situs remediasi lain, sementara dalam arkeologi digunakan untuk pemetaan fitur arkeologi dan pemakaman. GPR digunakan dalam penegakan hukum untuk mencari kuburan bawah tanah dan bukti dikuburkan. Menggunakan militer termasuk deteksi ranjau, bom yang belum meledak, dan terowongan. Sebelum 1987 Waduk Frankley di Birmingham, Inggris England bocor 540 liter air minum per detik. Pada tahun itu GPR telah berhasil digunakan untuk mengisolasi kebocoran. 
Radar lubang bor menggunakan GPR digunakan untuk memetakan struktur dari lubang bor dalam aplikasi pertambangan bawah tanah. Modern arah sistem radar lubang bor mampu menghasilkan gambar tiga dimensi dari pengukuran dalam lubang bor tunggal. Salah satu aplikasi utama lainnya untuk radar penetrasi tanah untuk mencari utilitas bawah tanah, karena GPR mampu menghasilkan gambar 3D bawah tanah induk pipa, listrik, limbah dan air.
Individu baris data GPR merupakan tampilan (profil) penampang bawah permukaan. Beberapa baris data dikumpulkan secara sistematis atas area dapat digunakan untuk membangun gambar tiga dimensi atau tomografi. Data dapat disajikan sebagai tiga dimensi blok, atau irisan sebagai horizontal atau vertikal. Irisan horizontal (dikenal sebagai "irisan mendalam" atau "irisan waktu") adalah peta dasarnya planview mengisolasi kedalaman tertentu. Waktu mengiris telah menjadi praktek standar dalam aplikasi arkeologi, karena pola horisontal sering indikator yang paling penting dari kegiatan budaya.Urungkan pengeditan
Keterbatasan kinerja yang paling signifikan dari GPR dalam high-konduktivitas bahan seperti tanah liat dan tanah yang terkontaminasi garam. Kinerja juga dibatasi oleh hamburan sinyal dalam kondisi heterogen (tanah berbatu misalnya). Kelemahan lain dari sistem GPR yang tersedia saat ini meliputi: Interpretasi radargrams umumnya non-intuitif untuk pemula. Keahlian yang diperlukan untuk secara efektif merancang, melaksanakan, dan menafsirkan survei GPR. Konsumsi energi yang relatif tinggi dapat menjadi masalah bagi survei lapangan yang luas. Kemajuan terbaru dalam hardware dan software GPR telah berbuat banyak untuk memperbaiki kelemahan ini, dan perbaikan lebih lanjut dapat diharapkan dengan pengembangan yang berkelanjutan.