II.1 Geologi Regional Daerah
Yogyakarta
II.1.1
Fisiografi
Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan
Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses
tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan
Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan
hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran
air permukaan di sepanjang kaki
pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah. Gunung Api
Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu, namun data umur K/Ar lava andesit di
Gunung Bibi, Berthomier (1990) menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung
sejak 0,67 juta tahun lalu. Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan,
barat daya, barat dan utara Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki
gunung api yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan
Pegunungan Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan
Yogyakarta.
Di dalam cekungan tersebut selanjutnya
berkembang aktivitas gunung api (Gunung) Merapi. Didasarkan pada data umur
penarikhan 14C pada endapan sinder yang tersingkap di Cepogo,aktivitas Gunung
Merapi telah berlangsung sejak ±42.000 tahun yang lalu; sedangkan data
penarikhan K/Ar pada lava di Gunung Bibi, aktivitas gunung api tersebut telah
berlangsung sejak 0,67 jtl. Tinggian di sebelah selatan dan kemunculan kubah
Gunung Merapi di sebelah utara, telah membentuk sebuah lembah datar. Bagian
selatan lembah tersebut berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan bagian
baratnya berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi yang
diduga pernah terbentuk lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung
hitam. Lempung hitam tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan
endapan gunung api Gunung Merapi. Didasarkan atas data penarikhan 14C pada
endapan lempung hitam di Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah ±16.590 hingga
470 tahun, dan di Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung
hitam di Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi. Jadi data
tersebut dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan
material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo (Kalibayem)
tersingkap juga endapan lempung hitam yang berselingan dengan lahar berumur 310
tahun. Jadi, aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi daerah
ini pada ±6210 hingga ±310 tl.
1. Fisiografi Pulau Jawa
Secara umum, fisiografi
Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi kawasan Gunungapi Merapi,
Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua zona,
yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan (Bemmelen, 1949) (lihat Gambar
2.1). Zona Solo merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah (Central
Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh kerucut G. Merapi (±
2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan dataran
Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan aluvium
asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran Yogyakarta
menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari P. Parangtritis
hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K. Progo dan K. Opak,
sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang merupakan anak sungai
Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
Satuan perbukitan terdapat
di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini mempunyai kelerengan
antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m. Beberapa
puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di Perbukitan
Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo bagian timur.
Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng. Perbukitan Jiwo tersusun
oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk, 1992).
Zona Pegunungan Selatan
dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di sebelah barat dan utara,
sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah
selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara Pegunungan Selatan dan
Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan di bagian utara
berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir membujur
barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai lebar lk.
40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan
dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari
dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono,
2001). Subzona Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang
dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G.
Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di
bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G.
Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini
membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300
dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal
gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan
dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan
Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh
Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah selatan dan
timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini
adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar
2.2). Sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan
danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu
merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu bentang alam dengan
bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan ketinggian beberapa
puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink holes)
dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah
tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di
bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di
Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah
selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar
maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan
sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan
tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas
kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan
Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan
hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan
dasit (Van Bemmelen,1949).
II.2 Geologi Lokal Daerah Yogyakarta
Zona
Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona Baturagung,
Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto
dan Hartono, 2001).
Subzona
Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat
(tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ±
828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur
ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (±
706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief
paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan
beda tinggi 200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal
gunungapi.
Subzona
Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona
Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini
dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di
sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai
utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K.
Opak. Sebagai
endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba,
sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.
Subzona
Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu
bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan
ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga,
luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping
serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari
pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Diantara
Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu
atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939).
Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone)
juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa
antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
Selain
itu terdapat kawasan ekosistem gumuk pasir yang terletak di Daerah Parangtritis, sekitar 28 kilometer dari
kraton Yogyakarta ke arah selatan. Secara admistratif masuk wilayah Kecamatan
Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Kali Opak.
Sebelah utara berbatasan dengan Desa Donotirto Kecamatan Pundong, sedang
sebelah timur Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Di desa itu terdapat
sekitar 190 buah gumuk pasir yang terdiri dari jenis barchan, longitudinal,
parabolik dan sisir. Masing-masing jenis gumuk pasir tersebut mempunyai cara
pembentukan yang berbeda, dan dikontrol oleh faktor-faktor yang berbeda-beda
pula.
Gumuk
pasir merupakan akumulasi pasir lepas berupa gundukan teratur hasil kerja dan
pengaruh komponen-komponen : (1) jumlah pasir yang diendapkan teratur ke laut,
(2) ombak yang memindahkan pasir dari laut ke darat, (3) intensitas sinar
matahari yang mengeringkan pasir di pantai, (4) intensitas dan kemenerusan
angin yang memindahkan pasir, (5) tebing penghambat gerak angin dan sebaran
pasir, (6) vegetasi, dan (7) dinamika budaya masyarakat.
Di
Parangtritis terdapat sekitar 190 bentukan gumuk pasir, yang terdiri dari
jenis-jenis barchan 70 buah, longitudinal 80 buah, parabolik 30 buah dan sisir
10 buah. Masing-masing bentuk tersebut mempunyai cara dan faktor pengontrol
pembentukan yang berbeda. Bentuk parabolik dan sisir dipengaruhi oleh vegetasi
yang memotong arah angin sehingga kecepatan angin di belakang vegetasi kurang.
Bentuk barchan dan longitudinal dipengaruhi oleh aktivitas angin yang bertiup
kuat. Barchan mempunyai proses pembentukan menarik. Mulanya terbentuk
gumukpasir longitudinal yang mempunyai sumbu panjang sejajar dengan arah angin.
Berikutnya tubuh gumuk pasir semakin tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan
terjadinya perputara air di belakang gumuk, yang menyebabkan terjadinya
penggerusan di belakang gumuk. Penggerusan yang semakin kuat menjadikan penggerusan
semakin intensif sehingga dimensi lebar seimbang dengan dimensi panjang.
Gumuk
pasir Parangtritis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar : pasif dan
aktif. Gumuk pasir aktif menempati sisi timur pada luasan sekitar 70 hektar. Di
sini proses-proses pembentukan gumuk pasir longitudinal dan barchan oleh
aktivitas angin yang bertiup kuat dapat diamati dan dipelajari dengan baik,
misalnya struktur pengendapan permukaan riple mark. Gumuk pasir pasif
menempati sisi barat dan selatan sampai muara Kali Opak pada luasan sekitar 175
hektar. Di sini berkembang gumuk pasir parabolik dan sisir. Vegetasi yang
memotong arah angin tenggara-barat laut menyebabkan berkurangnya kecepatan
angin di belakang vegetasi sehingga terjadi sedimentasi.